Erotic
Performance Arts: Yang Ditolak Sebelum Ditawarkan
I
Menaiki
tangga gelap diiring oleh malaikat pencabut nyawa dan denting bel beresonansi
pendek, audiens diantar menuju sebuah ruang kaca bernuansa kacau. Tergeletak
seorang aktor diatas sofa dengan gerak-gerik kebosanan. Mencoba permainan
keseimbangan, bermain-main dengan botol dan gelas kaca, merokok. Adegan itu
diulang dengan intensitas yang semakin meningkat, membuat audiens bosan,
mungkin dia sendiri bosan.
Dalam
ruang yang tak seberapa luas, lagu-lagu kor gerejawi ala Vatikan terus diputar
sebagai pengiring adegan Fakir Magic
sang aktor yang menyiksa tubuhnya entah karena kesepian atau bosan. Bersetubuh
dengan lantai, cermin lalu ia mendapati dirinya sendiri.
Adegan
erotis dihadirkan tanpa simbol. Bagi saya, di adegan ini menegasikan fungsi
seni pertunjukan pada umumnya dimana pesan-pesan selalu dibungkus rapat atau
digayakan menjadi bentuk simbol lain. Tetapi tidak kali ini, tidak untuk adegan
ini. Semua terjadi bagaimana harusnya ia terjadi.
Lalu
pada klimaksnya, Sang Juliet hadir dengan ketakutan dan kekecewaan. Dia hadir
sebagai resolusi yang tak diharapkan Romeo, kemudian menjadi konflik yang lain
atas eksistensi sang Romeo.
II
Begitulah
sekilas ringkasan pementasan minim dialog yang digagas dan disutradarai oleh
Uul Syarifatullail. Tubuh sebagai media penyampaian gagasan telah dijelajah
dengan anggun oleh aktor-aktor.
Membaca
sekilas judul pertunjukan, yang seperti judul seminar “Dekonstruksi Cinta, Seks
dan Neraka”, membuat saya membawa ekspektasi tentang bagaimana ketiga hal itu
akan didekonstruksi.
Pesimistis
akan kebanalan protes terhadap heteroseksualitas sempat muncul ketika melihat
bagian dua pertunjukan, dimana Romeo II hadir. Secara keseluruhan, pertunjukan
ini tak hanya dengan membawakan cerita Romeo-Juliet, malah saya melihat narasi
kisah Narciscuss lebih dominan dalam pertunjukan.
Pertunjukan
ini merangkum kritik-kritik atas identitas, maskulinitas dan masalah mental
yang akhir-akhir ini terjadi di sekitar kita. Dibalut dengan keberanian
bentuk-bentuk ketubuhan erotis dan artistik yang intim.
Secara
umum skena Erotic Performance Arts
belum begitu banyak hadir di ruang-ruang publik di Jogja, atau bahkan di
Indonesia, mengingat seksualitas adalah hal yang tabu diperbincangkan apalagi
di pertunjukan bagi masyarakat Indonesia.
Mungkin
di luar negeri, bentuk kesenian seperti ini sudah popular. Seperti di Seattle,
telah diselenggarakan Seattle Erotic Art
Festival dengan Subgenre-subgenre yang “menarik” seperti Surrealist Imagery, Homoeroticism, BDSM,
dll.
Saya
rasa keputusan untuk melabeli pertunjukan ini dengan “18+Only” dan anjuran untuk tidak membawa alat dokumentasi ke area
pertunjukan, adalah langkah yang bijak dari penggagas.
Kidjing
Jogja,10
Mei 2018