Kamis, 10 Mei 2018

YANG DITOLAK SEBELUM DITAWARKAN: EROTIC PERFORMANCE ARTS


Erotic Performance Arts: Yang Ditolak Sebelum Ditawarkan
I
Menaiki tangga gelap diiring oleh malaikat pencabut nyawa dan denting bel beresonansi pendek, audiens diantar menuju sebuah ruang kaca bernuansa kacau. Tergeletak seorang aktor diatas sofa dengan gerak-gerik kebosanan. Mencoba permainan keseimbangan, bermain-main dengan botol dan gelas kaca, merokok. Adegan itu diulang dengan intensitas yang semakin meningkat, membuat audiens bosan, mungkin dia sendiri bosan.
Dalam ruang yang tak seberapa luas, lagu-lagu kor gerejawi ala Vatikan terus diputar sebagai pengiring adegan Fakir Magic sang aktor yang menyiksa tubuhnya entah karena kesepian atau bosan. Bersetubuh dengan lantai, cermin lalu ia mendapati dirinya sendiri.
Adegan erotis dihadirkan tanpa simbol. Bagi saya, di adegan ini menegasikan fungsi seni pertunjukan pada umumnya dimana pesan-pesan selalu dibungkus rapat atau digayakan menjadi bentuk simbol lain. Tetapi tidak kali ini, tidak untuk adegan ini. Semua terjadi bagaimana harusnya ia terjadi.
Lalu pada klimaksnya, Sang Juliet hadir dengan ketakutan dan kekecewaan. Dia hadir sebagai resolusi yang tak diharapkan Romeo, kemudian menjadi konflik yang lain atas eksistensi sang Romeo.
II
Begitulah sekilas ringkasan pementasan minim dialog yang digagas dan disutradarai oleh Uul Syarifatullail. Tubuh sebagai media penyampaian gagasan telah dijelajah dengan anggun oleh aktor-aktor.
Membaca sekilas judul pertunjukan, yang seperti judul seminar “Dekonstruksi Cinta, Seks dan Neraka”, membuat saya membawa ekspektasi tentang bagaimana ketiga hal itu akan didekonstruksi.
Pesimistis akan kebanalan protes terhadap heteroseksualitas sempat muncul ketika melihat bagian dua pertunjukan, dimana Romeo II hadir. Secara keseluruhan, pertunjukan ini tak hanya dengan membawakan cerita Romeo-Juliet, malah saya melihat narasi kisah Narciscuss lebih dominan dalam pertunjukan.
Pertunjukan ini merangkum kritik-kritik atas identitas, maskulinitas dan masalah mental yang akhir-akhir ini terjadi di sekitar kita. Dibalut dengan keberanian bentuk-bentuk ketubuhan erotis dan artistik yang intim.
Secara umum skena Erotic Performance Arts belum begitu banyak hadir di ruang-ruang publik di Jogja, atau bahkan di Indonesia, mengingat seksualitas adalah hal yang tabu diperbincangkan apalagi di pertunjukan bagi masyarakat Indonesia.
Mungkin di luar negeri, bentuk kesenian seperti ini sudah popular. Seperti di Seattle, telah diselenggarakan Seattle Erotic Art Festival dengan Subgenre-subgenre yang “menarik” seperti Surrealist Imagery, Homoeroticism, BDSM, dll.
Saya rasa keputusan untuk melabeli pertunjukan ini dengan “18+Only” dan anjuran untuk tidak membawa alat dokumentasi ke area pertunjukan, adalah langkah yang bijak dari penggagas.
Kidjing
Jogja,10 Mei 2018


Tidak ada komentar:

Posting Komentar